Larantuka, kota kecil di Flores Timur yang tenang, dibanjiri ribuan umat Katolik yang melakoni prosesi Paskah Semana Santa yang sudah berlangsung lima abad lamanya. Prosesi Jumat Agung berjalan khidmat dan syahdu, meski jumlah peziarah diklaim tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.

Tradisi Semana Santa yang merupakan warisan Portugis dan tradisi adat, tak bisa lepas dari kehadiran Tuan Ma yang melegenda.

Kisahnya menjulur-julur hingga puluhan generasi, bercampur legenda dan mitos. Sekitar 500 tahun silam di pantai Larantuka, angin tenang, ombak pun pelan, saat itu laut sedang surut. Seorang bocah dari suku Resiona bermain di pinggir laut untuk mencari ikan dan siput di sela-sela karang.

Saat itulah dia menemukan patung seorang perempuan di tepi laut. Patung itu kemudian dibawa pulang, untuk diserahkan kepada neneknya.

Mulai saat itu, warga Larantuka yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, menganggap patung itu sebagai ‘benda keramat’.

Cerita itulah yang diturunkan kepada Wilhelmus Resiona, keturunan kesembilan dari penemu pertama patung itu.

“Setelah nenek menerima itu, lalu ditahtakan di korke (rumah adat). Mereka melihat bahwa dia sebagai benda halus yang dihormati secara kekafiran,” ujar pria yang akrab disapa Wempi ini kepada BBC News Indonesia.

Hikayat lain menyebut, pemuda Resiona itu melihat seorang dewi yang berjalan di atas air. Takjub dengan apa yang dilihatnya, pemuda itu kemudian bertanya kepada perempuan yang ditemuinya itu, namun sang dewi menjawab dengan bahasa yang tidak dia pahami.

Dia lalu melaporkan apa yang dilihatnya kepada tetua Suku, namun ketika dia dan pembesar suku datang kembali, sang dewi sudah berubah menjadi patung yang cantik dengan raut wajah yang syahdu.

Di dekat patung itu berdiri, kerang-kerang tersusun membentuk simbol-simbol yang tidak mereka pahami – baru kemudian setelah kedatangan misionaris, mereka mengetahui bahwa tulisan itu berbunyi ‘Santa Maria Reinha Rosari’. Kemudian, Raja Larantuka saat itu menjadikan patung itu sebagai dewi yang mereka sembah.

“Ketika perang, mereka melakukan seremonial adat di depan patung dan berhasil mengalahkan musuh,” ujar keturunan Raja Larantuka, Don Andre Martinus Diaz Viera de Godinho (DVG).

Orang-orang Lamaholot yang mendiami pesisir Flores pun selalu berdoa di depan patung itu ketika sedang membuka lahan untuk bercocok tanam dan ketika sakit agar segera disembuhkan. Menurut Don Martinus, permohonan mereka selalu dikabulkan.

“Raja Larantuka saat itu menganggap bahwa patung tersebut sebagai pemberian ‘rera wulan’, atau sang khalik, sang pencipta, bahwa masyarakatnya selalu ditolong, dilindungi dan dibimbing oleh sang dewi,” tutur pria yang merupakan generasi ke-23 Kerajaan Larantuka ini.

Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harafiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama. Sementara masyarakat Lamaholot menyebutnya Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewa Bumi.

Membuka jalan penyebaran Katolik

Pada abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis yang mencari rempah-rempah di Flores, datanglah misionaris yang menyebarkan agama Katolik.

Don Tinus menuturkan, raja lalu membawa sang misionaris ke korke tempat pentahtaan sang dewi. Ketika membaca tulisan yang tertera di dekat sang dewi dan menyadari bahwa perempuan itu adalah Bunda Maria, sang misionaris langsung berlutut.

“Dia mengatakan Bunda Maria membuka jalan pada tanah ini dimana untuk menyebarkan agama putranya.”

“Sehingga Raja berkesimpulan bahwa Bunda Maria sebagai pembuka jalan bagi penyebaran agama Katolik di wilayah ini,” papar Don Tinus.

Kisah ini dibenarkan oleh Uskup Larantuka, Fransiskus Kopong Kung, yang mengatakan penyebaran agama Katolik di wilayah itu mendapat kemudahan karena keterkaitan patung itu dengan kekatolikan.

“Dan setelah raja di sini dibaptis menjadi Katolik, anggota keluarga kerajaan mulai masuk katolik, dengan sendirinya rakyatnya ikut dan saat itulah mulai berkembang kekatolikan di sini, ketika Portugis mulai datang, tapi patungnya sudah ada dulu di sini,” ujar Uskup Kopong.

Lantas, mengapa patung itu bisa datang lebih dulu daripada bangsa Portugis yang kemudian menjadikan Solor, pulau di sebelah timur Larantuka sebagai basis pertahanannya?

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Keuskupan Larantuka berdasar sumber tertulis dari Portugis dan Belanda, pada tahun 1510 ada kapal Portugis yang melakukan pelayaran dagang ke timur dan karam di kampung yang disebut sebagai kampung ‘penyu’, yang dalam bahasa Larantuka disebut Lokea.

“Kalau kapal dagang Portugis atau Spanyol yang berdagang pada masa itu pada umumnya bawa barang-barang kudus, seperti patung dan banyak sekali barang-barang kudus untuk mereka hadiahkan.” ujar Uskup Kopong.

“Kami memperkirakan, kalau kapal karang bisa saja ada patung yang hanyut dari kapal itu dan terdampar di sini dan kami menduga bisa saja itu patung Tuan Ma,” lanjutnya.

Sementara merujuk pada kultur masyarakat Lamaholot yang agraris, mereka mempercayai sosok ibu kehidupan yang memberi hidup kepada masyarakat. Karena begitu dekat, kehadiran Tuan Ma atau Bunda Maria tidak asing bagi kehidupan orang Lamaholot sebagai figur baru dalam kultur kehidupan mereka.

“Dan ketika itu masuk dalam dunia kekatolikan ketika Portugis masuk, dan hadirnya patung ini dalam tradisi ini sudah sangat lekat dengan hati orang, maka penghormatan kepada dia pun tidak asing bagi mereka karena mereka sudah dekat dengan seorang ibu yang ada dalam budaya Lamaholot dan dia hadir sebagai ibu baru di dalam kehidupan ini,” ungkap Kopong.

Tahun 1650, Raja Larantuka Ola Adobala dibaptis dan menyerahkan kerajaan Larantuka kepada Tuan Ma yang kini dianggap sebagai perwujudan Bunda Maria.

Sejak saat itu, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria

Setelah itu putranya, Don Gaspar I, pada 1665 mulai mengarak patung Tuan Ma keliling Larantuka.

Tradisi lima abad

Hingga kini, tradisi itu sudah berjalan selama lima abad lamanya. Setiap kali prosesi Jumat Agung, atau Sesta Vera, dua patung suci Tuan Ma dan Tuan Ana, begitu orang Larantuka menyebut patung Yesus, diarak berkeliling jantung kota Larantuka, dengan jutaan lilin dinyalakan sepanjang jalan.

Sesta Vera menjadi puncak perayaan Semana Santa, atau pekan suci Paskah, yang memperlihatkan tautan budaya Portugis dan budaya orang Lamaholot yang erat.

Don Tinus menjelaskan selama lebih dari 500 tahun, keluarga kerajaan Larantuka dan suku-suku Semana bersama dengan Confreria de Rosari, atau perkumpulan Laskar Maria, bahu membahu dengan pihak gereja untuk melestarikan tradisi ini.

“Jadi selama ini kami sebagai pelaksana devosi dengan pihak liturgi Gereja tetap bekerja sama. Kami saling mengisi sehingga tidak terjadi saling mengaku yang lebih penting,” jelas Don Tinus.

“Dari gereja hanya melaksanakan liturgi, kami melaksanakan devosi. Jadi devosi dan liturgi ini berjalan bersama-sama,” imbuhnya.

Pertautan antara tradisi adat dan ajaran Katolik peninggalan Portugis ini yang membuat Anne Marie, tertarik mengikuti prosesi Semana Santa.

Perempuan asal Prancis ini sudah 30 tahun tinggal di Indonesia, namun baru pertama kali mengikuti prosesi Semana Santa di Larantuka, Flores Timur.

Dia menuturkan, tradisi Paskah yang khas juga dilakoni penduduk Prancis yang tinggal di Lourdes, kota kecil di selatan Prancis, yang menjadi tempat ziarah terbesar bagi umat Katolik di negara itu, namun menurutnya, tradisi Semana Santa di Larantuka, sangat “menarik”.

“Menarik karena upacara keagamaan banyak di Indonesia, beraneka ragam, dan saya rasa ini untuk orang Katolik itu yang paling besar, itu yang menarik.”

“Kedua, ada latar belakang khusus masuknya agama Katolik di Pulau Flores dengan patung Tuan Ma yang berhubungan dengan sejarah itu,” jelas perempuan yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini.

Aura Magis Tuan Ma

Tuan Ma, begitu orang Larantuka menyebut patung Mater Dolorosa atau Bunda Maria Berdukacita yang menjadi pusat ritual tradisi Semana Santa, memang disakralkan oleh warga Larantuka.

Kehadiran Tuan Ma dan patung Tuan Ana, sebutan warga Larantuka bagi Yesus dan prosesi Jumat Agung, ditunggu umat dan peziarah yang membanjiri dari seluruh penjuru negeri.

Seorang warga Larantuka, Nus de Rosari menuturkan Tuan Ma cuma bisa ditemui setahun sekali sejak Kamis Putih hingga Jumat Agung, atau Sesta Vera, itu yang kemudian membuat kehadiran Tuan Ma begitu ditunggu oleh umat dan peziarah.

Uniknya, masing-masing orang memiliki intepretasi yang berbeda-beda ketika melihat raut ‘sang bunda’.

“Wajah bunda itu kita melihat sesuai dengan iman kita yang mana kepercayaan orang Larantuka, kalau bunda itu berwajah suram, artinya kita susah. Tapi ketika berwajah berseri-seri, itu artinya tahun ini peroleh berkah,” ujar Nus.

Pengalaman itu, yang membuat Dewi Sumarnitia selalu merasa haru tiap kali bertemu dengan Tuan pada prosesi cium Tuan Ma, dimana umat dan peziarah bersujud di depan Tuan Ma sambil menyampaikan wujud, atau permohonan mereka.

Aura magis Tuan Ma yang membuat perempuan yang berasal dari Maumere ini terus melakukan prosesi Semana Santa tiap tahunnya. Ini adalah tahun kelimanya mengikuti tradisi ini.

“Saat suasana hati kita sedang sedih, pasti kita juga melihat Bunda Maria kelihatannya seperti sedih, tergantung pada penglihatan masing-masing, kalau kita bahagia dia pasti kelihatan bahagia juga,” katanya.

“Itu yang membuat kita tersentuh sekali,” ujarnya.

Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48001505

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *